dr. Alim
Ada dua kepentingan utama ilmu kedokteran: memberikan manfaat setinggi-tingginya dan mengurangi/mencegah bahaya semaksimal mungkin. Maka seorang dokter dalam memberikan pilihan pengobatan untuk pasien selalu mempertimbangkan dua hal itu. Misalnya, memberikan obat X kepada pasien maka dipikirkan apakah obat tersebut bermanfaat (efektif) terhadap perbaikan kondisi pasien dengan efek tak diinginkan yang sangat minimal (aman).
Pertanyaannya, atas dasar apa pengobatan/obat itu diketahui Aman dan Efektif?
Sampai titik ini, setelah berabad-abad berevolusi, kedokteran merumuskan sebuah paradigma besar yang disebut sebagai Evidence Based Medicine (EBM)/(Kedokteran Berbasis Bukti). Intinya, praktek kedokteran yang dipilih harus terbukti efektif dan terbukti aman.
Nah, nilai/kualitas bukti ini bertingkat-tingkat sesuai level penelitiannya, dari yang paling rendah, penuh bias, subyektif dll... sampai yang nilai obyektifitasnya tinggi, bias minimal, "mutawatir" dst. Ini saya lampirkan sedikit detilnya mengenai hierarkhi ini.
Semakin tinggi maka semakin rumit prosesnya, semakin ketat prosedurnya dengan hasil yang tentu lebih bisa diambil hujjahnya, lebih terpercaya kebenarannya. Artinya, temuan penelitian lebih bisa dipraktekkan kepada pasien dengan nilai efektifitas dan keamanan yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah akan semakin kecil nilai keterpercayaannya. Itulah kenapa testimoni seseorang atas keberhasilan suatu pengobatan tidak bisa diambil sebagai dasar yang baik.
***
Dengan lahirnya paradigma EBM ini, pemuliaan manusia ada dalam posisi yang sangat tinggi, dijaga keselamatannya. Ini juga ditopang dengan rumusan Bioetika kedokteran modern yang memposisikan kemuliaan, independensi, hak-hak kemanusiaan dan lain sebagainya pada posisi yang tinggi juga dalam kedokteran modern.
Pun demikian, kalau ditilik dari perspektif filsafat ilmu apalagi epistemologi, paradigma EBM ini tampak mengukuhkan materialisme-positivisme (yang pada batas tertentu bersifat cartesian-newtonian yang reduksionis) yang memang sejak lama menjadi basis dari sains modern. Dengan demikian, tidak memberi ruang bagi sesuatu yang tidak/belum terjangkau alat ukur sains, yang dalam bahasa agama umum disebut sebagai "ghaib". Jadi ya kedokteran akan jauh-jauh dari barang gaib.
Tapi sebaliknya, apakah paradigma EBM yang "reduksionis" ini merupakan masalah? Jawabannya bisa ya bisa tidak, tergantung perspektif dan kepentingan yang menjadi ukuran. Misalnya, kalau persepektifnya menggunakan idealisme bahwa kedokteran itu tidak boleh lepas dari kebenaran ghaibi, harus mengakuinya sebagai entitas yang eksis, bahkan diharapkan untuk mengungkapnya, maka paradigma EBM ini bermasalah, setidaknya secara filsafati.
Akan tetapi kalau porsi wilayah kerja kedokteran memang hanya dibatasi/dibutuhkan pada pencarian solusi atas persoalan fisik/material, maka paradigma EBM ini bagus. Pada praksisnya, dengan paradigma ini kedokteran memiliki angka kepastian yang tinggi meski jelas tidak mutlak. Angka kepastian ini sangat penting bagi kepentingan kesehatan, khususnya kepastian atas efektifitas pengobatan dan keamanan pasien.
Selain kepentingan langsung ke pasien, salah satu nilai lebih atas kepastian dan obyektifitas yang tinggi dari sains modern adalah bisa berlakunya common language. Contohnya, dokter bisa melakukan rujukan ke dokter lain karena memiliki common language dan parameter pengetahuan yang sama. Ini beda dengan (maaf) dukun, misalnya, kita amat jarang melihat satu dukun merujuk ke dukun lain untuk melakukan sebuah pemeriksaan lalu dilakukan rujuk balik ke dukun semula untuk eksekusinya, apalagi dukun yang urusan ghaib. Ini karena tidak berlaku common language dan parameter-parameter yang sama.
Maka ketika ada pasien yang menggunakan paradigma non-saintifik jelas tidak akan nyambung dengan paradigma dokter. Sebagai contoh, teman saya pernah menemui kejadian, seorang pasien yang sangat percaya pada "pengobatan herbal" atau "pengobatan nabi" minta kepada petugas medis untuk memasukkan jamunya ke kantong infus agar bisa dimasukkan ke tubuh. Tentu petugas medis menolaknya. Pasien menggunakan keyakinan religinya, petugas medis menolak menggunakan dasar sains. Dalam kasus ini, apakah lalu sains dalam hal ini kedokteran dianggap merendahkan kebenaran "pengobatan nabi" itu? Tentu tidak.
***
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana posisi atau relasi agama dengan kedokteran sebagai salah satu anak sains?
Pengamatan saya, secara sederhana ada beberapa relasi yang sampai saat ini terbangun. Pertama, kedokteran menunjang agama. Misalnya dalan menegakkan maqshud syariah hifdzunnafs, saat ini sedikit banyak agama mengandalkan ilmu kedokteran. Contoh lain, apakah suatu zat membahayakan sehingga bisa dihukumi haram, sedikit banyak agama mengandalkan kedokteran.
Kedua, agama (praksis) menunjang pengobatan. Misalnya pendekatan reliji untuk melakukan kondisioning mental pasien. Atau agama memberi koridor etik dalam praktek kedokteran.
Kedua relasi ini, pragmatik dan etik, antara agama dan sains sudah lumayan nyambung.
Nah yang menurut saya belum ketemu adalah yang ketiga, hubungan epistemik. Seperti saya jelaskan di atas, secara epistemik agama mengakui kebenaran yang ghaib, secara ontologis mengakui keberadaannya. Tapi belum tentu bagi sains, khususnya kedokteran. Masih ada yang belum nyambung di situ. Kita masih menyisakan PR besar, apalagi kalau punya obsesi membangun konsepsi "Kedokteran Islam" yang utuh dan bukan sekadar cocokologi antara nash dan praktek medis seperti yang laris manis akhir-akhir ini.
Akhirnya, tulisan non ngilmiah angen-angen lumantar angin ini hanya bermaksud sedikit menggambarkan bahwa pada banyak aspek, sains dan agama bisa berdampingan layaknya sate dan tongseng. Tapi bukan berarti sate dan tongseng selalu bisa dimakan bersama pada kondisi tertentu, misalnya perut kita sudah kepenuhan nastar sehingga hanya cukup nampung seporsi saja. Itu bukan berarti sate dan tongseng berusaha menegasikan satu sama lain dengan arogansi atau apa... tapi masalahnya perut kita yang belum mampu menampungnya bersama-sama.
,
ConversionConversion EmoticonEmoticon